Quantcast
Channel: Opini UPI
Viewing all articles
Browse latest Browse all 110

Undang-Undang Pendidikan Tinggi 2012, Sebuah Keniscayaan

$
0
0

DSC01561

Oleh Dr. ADE ARMANDO

(Disampaikan sebagai saksi ahli dari pemerintah pada sidang gugatan UU No. 12 Tahun 2012 di Mahkamah Konstitusi, Selasa [18/6/2013])

SAYA berharap gugatan atas UU Dikti ini tidak dipenuhi Mahkamah Konstitusi atas dasar pertimbangan keadilan sosial, kualitas pendidikan tinggi dan demokrasi di Indonesia. Kalau gugatan dipenuhi:

-         hak rakyat untuk menikmati pendidikan tinggi dan keadilan biaya pendidikan akan terkhianati

-         kualitas pendidikan akan terjerembab

-         kemandirian perguruan tinggi sebagai pengawal dan demokratisasi dan kemajuan bangsa akan terpuruk..

Di berbagai media saya membaca, para penggugat menyatakan UU Dikti ini akan melahirkan otonomi perguruan tinggi yang pada intinya adalah kemandirian kampus untuk melakukan komersialisasi pendidikan. Dengan otonomi itu, biaya pendidikan akan menjadi mahal sehingga hanya orang kaya yang diuntungkan.

Sebagai alternatif, mereka menuntut pembatalan otonomi sehingga tanggungjawab pendidikan tinggi dikembalikan ke pemerintah. Perguruan Tinggi kembali menjadi lembaga instansi pemerintah dan biaya kuliah bisa ditekan serendah mungkin. Sebagian aktivisnya bahkan menyatakan bahwa seharusnya – sebagaimana, misalnya,  di Jerman – mahasiswa bisa kuliah dengan cuma-cuma

Saya ingin mengatakan, tuduhan itu tak berdasar. Berbeda dengan tuduhan penggugatnya, UU Dikti itu justru berseberangan dengan komersialisasi pendidikan tinggi dan, sebaliknya, cenderung lebih adil dengan membuka akses lebih luas bagi masyarakat tidak mampu untuk mengenyam pendidikan tinggi.

Para pengeritik berargumen  bahwa sejak menjelmanya Perguruan Tinggi Negeri menjadi Badan Hukum Milik Negara, komersialisasi PTN menjadi-jadi. Karena otonom, PTN berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN, seperti UI, ITB, Unpad, IPB, dan lainnya) dengan semena-mena menaikkan uang pangkal, biaya kuliah, sehingga diskriminatif terhadap siswa miskin.

Tapi praktik ekspoitasi mahasiswa ini bukan hasil dari UU Dikti 2012. Justru UU Dikti 2012 ini dilahirkan dengan muatan yang akan mencegah pola eksploitatif serupa.berulang.

UU ini membatasi ruang gerak pengelola PTN Badan Hukum dalam menerapkan biaya kuliah. UU Dikti 2012 ini melarang perguruan tinggi menetapkan sendiri uang kuliah mahasiswa.   Mereka yang berpikir akan bisa memanfaatkan perguruan tinggi sebagai ladang emas untu dikeruk kekayaannya, harus gigit jari. UU ini menyatakan, besar biaya kuliah per mahasiswa tidak bisa ditetapkan semena-mena oleh rektor. UU mengamanatkan pemerintah untuk menetapkan standar satuan biaya opersional pendidikan tinggi secara periodik yang akan digunakan sebagai dasar oleh masing-masing PTN Badan Hukum untuk menetapkan biaya kuliah di kampus masing-masing.

UU Dikti ini menyatakan  PTN BH tidak boleh mengandalkan sebagian besar biaya pendidikan pada mahasiswa. Sekitar 70 persen dari biaya pendidikan harus diperoleh dari sumber non-mahasiswa, misalnya melalui penelitian dan bentuk-bentuk pencarian dana dengan kerjasama dengan pihak luar.

UU juga menyatakan  pemerintah tidak bisa lepas tangan dari kewajibannya atas pendanaan pendidikan. Pemerintah harus tetap mendanai PTN BH sehingga tak perlu terjebak dalam kebutuhan untuk melakukan eksploitasi ekonomi  atau terjerat dalam gurita kepentingan ekonomi dan politik.  Di sisi lain, UU membatasi peran pemerintah sehingga tak bisa mengintervesi otonomi pendidikan PTNbh.

Lebih dari itu, UU ini menetapkan bahwa 20 persen bangku kuliah harus diisi oleh kalangan tidak mampu yang pembiayaan kuliahnya  akan ditutupi dengan beasiswa dan pendanaan lainnya. Ini  bukan pilihan, tapi kewajiban. UU Dikti ini jauh lebih progresif dari UU lainnya. Saat ini tidak ada kewajiban bagi SD-SMP-SMU untuk menyediakan sekian persen kursi untuk kaum tidak mampu. UU Dikti ini mewajibkannya? Bukankah itu luar biasa?

Kewajiban kuota 20 persen bagi kalangan tidak mampu ini luar biasa mengingat, secara realistis  saja, daya tampung perguruan tinggi terbatas sehingga harus ada proses penseleksian ketat untuk bisa masuk ke sana. Bila yang diterapkan kompetisi bebas, hampir pasti, peluang siswa kaya yang datang dari sekolah-sekolah menengah terbaik   jauh lebih besar dari siswa miskin dengan segenap keterbatasan latar belakangnya.

Data menunjukkan bahwa saat ini hanya sekitar 1-4 persen penduduk miskin berusia 19-24 tahun berada di perguruan tinggi di Indonesia. Kalau disempitkan ke PTN, jumlahnya pasti akan jauh lebih kecil lagi. Kalangan miskin ini tidak mampu menjangkau perguruan tinggi, bukan karena masalah kemampuan membayar tapi karena secara  alamiah, mereka memang cenderung tersingkir dalam kompetisi mengingat keterbatasan fasilitas pendidikan yang mereka miliki.

Dengan demikian, kewajiban kota 20 persen ini adalah  semacam affirmative action untuk membuka kesempatan lebih besar bagi rakyat kecil. Jadi, tidak logislah kalau UU ini dianggap bertentangan UUD 1945 karena dilandasi semangat neoliberalisme dan komersialisasi pendidikan.

Memang  benar dengan skema UU Dikti ini, uang kuliah mahasiswa rata-rata akan jauh lebih besar dibanding 15-20 tahun lalu, di masa uang kuliah di PTN adalah sangat murah. Saya sendiri hanya membayar Rp 30 ribu per semester dulu.

Namun, dalam perspektif keadilan sosial, UU Dikti 2012 ini justru lebih layak. Para mahasiswa UI dan PTN lainnya dulu membayar murah uang kuliah  karena biaya pendidikan mereka disubsidi besar-besaran oleh rakyat Indonesia. Padahal sebagian besar mahasiswa PTN itu datang dari kalangan keluarga berpenghasilan atas.  Singkat kata, kalau uang kuliah dibuat murah, yang paling akan menikmati kemurahan itu adalah kaum elit.  Orang miskin hanya akan menjadi penonton yang mensubsidi.

Kini, melalui UU Dikti,  subdisi dari uang rakyat itu dibatasi alirannya. Mahasiswa menengah dan kaya harus membayar lebih mahal, tapi itupun dalam batas kewajaran yang ditetapkan pemerintah. Anak saya sendiri tahun ini baru masuk UI jalur vokasi. Saya tahu saya memang harus membayar cukup besar. Tapi bukankah itu lebih adil daripada saya meminta rakyat membiayai sebagian besar biaya kuliah anak saya?

Para pengecam juga sering menyebut bahwa UU Dikti ini bertentangan dengan Konvensi Ekonomi Sosial dan Budaya yang sudah diratifikasi Indonesia. Itu keliru. Konvensi Ecosoc memang  mewajibkan pemerintah untuk menyelenggarakan wajib belajar, tapi hanya untuk pendidikan dasar.

Adapun soal pendidikan tinggi, Konvensi menyatakan bahwa : “pendidikan tinggi harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya  melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap”. Jadi yang ditekankan adalah ‘ketersediaan pendidikan secara merata atas dasar kemampuan’.

UU Dikti ini justru hendak menjalankan pola yang lebih adil tersebut. Namun UU Dikti ini bukan saja penting untuk menjamin keadilan sosial tapi juga dalam hal menjamin kualitas pendidikan tinggi dan demokratisasi.

Di negara dengan ideologi apapun perguruan tinggi memerlukan otonomi agar dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pusat penelitian, pendidikan, pengembangan pengabdian pada masyarakat, serta sebagai pusat pengawal demokrasi dan keadilan sosial serta pengembangan budaya bangsa.

Otonomi merupakan prasyarat  untuk mencapai keunggulan akademik. Suasana akademik harus memupuk inovasi, kreativitas dan kebebasan berpikir. Hal ini hanya bisa terjadi jika perguruan tinggi dikelola secara otonom dan akuntabel. Hanya bila proses pendidikan di perguruan tinggi didasari dengan kebebasan berbicara, menyampaikan gagasan, bertukar pikiran, meneliti, berkreasi, Indonesia akan bisa mengharapkan berkembanganya perguruan tinggi yang akan mengawal Indonesia memasuki era demokratisasi dan kompetisi bebas dunia yang memberi tantangan jauh lebih besar dari masa-masa sebelumnya.

Kebebasan akademik hanya terjamin apabila ada otonomi PTN, dan otonomi hanya bisa tumbuh subur apabila PTN tidak diperlakukan sebagai jawatan atau instansi  pemerintah. Para dosen dan para peneliti di PTN harus berpikir bukan sebagai pegawai dengan logika birokrasi pemerintahan.

Indonesia membutuhkan Perguruan Tinggi negeri yang otonom dalam bentuk PTN Badan Hukum. Tanpa berkedudukan sebagai badan hukum, PTN di negara ini tidak akan mampu menjadi kekuatan untuk memperjuangkan kepentingan public dan menegmabngkan ilmu pengetahuan.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 110